Pokok-pokok yang dibahas dalam Filsafat Islam

1. Emanasi

Emanasi adalah teori yang dikemukakan oleh Plotinus, yang terkenal dengan sebutan aliran Neo-Platinisme. Prinsip teori emanasi adalah penjelasan tentang munculnya yang banyak dari yang satu atau terjadinya alam dari sumber yang pertama. Dalam bahasa agama sering dinamakan dengan penciptaan, yakni bagaimana Tuhan menciptakan alam ini.

Proses ini merupakan proses otomatis tanpa kehendak, bagaikan munculnya panas dari api dan cahaya dari matahari. Persoalan tentang terciptanya alam merupakan persoalan parenial yang sampai saat ini belum terpecahkan secara baik. Al-Farabi, Filosof muslim yang terkenal menguraikan teori emanasi secara lebih rinci.

Al-Farabi menggunakan teori emanasi, yang dalam bahasa arab disebut nazhariyat Al-faidh (teori limpahan). Karena sesuatu kalau sudah sempurna akan melimpah, bagaikan gelas jika terus diisi dengan air akan melimpah. Begitu juga Tuhan yang maha sempurna akan melimpah dari dirinya kesempurnaan juga.

2. Jiwa atau Ruh

Jiwa dalam bahasa arab disebut dengan nafs atau ruh, sedangkan dalam bahasa inggris soul atau spirit adalah unsur immateri dalam diri manusia. Jiwa tidak dapat dipisahkan dari tubuh, begitu juga sebaliknya karena tanpa salah satu dari keduanya, seseorang tidak dapat dikatakan manusia. Kendati jiwa adalah unsur pokok dalam diri manusia, persoalan hakikat jiwa, hubungan jiwa dengan badan dan keabadian jiwa tidak mudah dipecahkan.

 Karena itu, tidak heran para ahli agama, filosof, sufi, dan psikolog sampai sekarang masih terus berusaha mengkaji dan mendalami tentang eksistensi jiwa. Dalam kitab-kitab suci agama pun, ungkapan jiwa termasuk bahasan yang penting karena terkait dengan kepercayaan pokok, yaitu percaya akan hari akhirat, yang didalamnya terkandung makna keabadian jiwa.

Dalam Al-Qur’an, jiwa diungkapkan denga kata nafs atau ruh, yang artinya tidak selalu sama karena nafs sendiri tidak satu artinya, ada yang berarti jiwa, hati, dan jenis. Sedangkan ruh yang berarti jiwa, malaikat jibril, dan wahyu. Kendati terdapat persamaan arti antara nafs dan ruh, dalam mu’jam Al-wasith, ruh dan nafs dibedakan. Ruh adalah yang menghidupkan nafs dan esensi ruh lebih halus daripada nafs.



Pengertian ini tampaknya diperkuat oleh M. Quraish Shihab, yang mengatakan bahwa nafs dalam Al-Qur’an menggambarkan totalitas manusia atau kepribadian seseorang yang membedakannya dengan orang lain. Dia mengutip pendapat Abdul Karim Al-Khatib, salah seorang ulama islam kontemporer, yang cenderung memahami jiwa sebagai suatu hasil perpaduan antara jasmani dan ruhani manusia, perpaduan yang kemudian menjadikan yang bersangkutan mengenal perasaan, emosi, dan pengetahuan, serta dikenal dan dibedakan dengan manusia lainnya. Sedangkan Ibn Katsir berpendapat bahwa nafs dan ruh adalah sama, yaitu zat yang halus menjalar didalam tubuh, seperti mengalirnya air dalam akar pohon-pohonan.

Ibnu Miskawih, filosof etika, berpendapat bahwa jiwa adalah substansi sederhana, tidak dapat diindera, jiwa bukanlah tubuh, bukan juga bagian dari tubuh, dan bukan pula materi. Jiwa itu satu dan lebih luas dari pada materi karena jiwa dapat menerima sesuatu yang berlawanan pada saat yang bersamaan, seperti warna putih dan hitam, sedangkan tubuh tidak dapat menerima kedua warna itu bersamaan. Jiwa juga tidak dapat diukur dengan ukuran panjang atau lebar sebagaimana mengukur benda karena jiwa tidak akan berubah lebih panjang atau lebih lebar.

Ibnu Sina meyakini benar bahwa jiwa adalah unsur yang berbeda dari tubuh dan memiliki karakter spesifik. Untuk mejelaskan perbedaan tersebut dan sekaligus memperkuat adanya jiwa. Ibn Sina mengemukakan empat argumen, yaitu:

  1. Argumen psiko fisik, yaitu setiap benda harus tunduk pada hukum alam, contohnya batu harus jatuh kebawah dan tidak bergerak, tetapi ternyata manusia adalah benda yang bisa bergerak. Gerak manusia ini tentu tidak digerakkan oleh tubuh itu sendiri, tetapi ada unsur luar yang menggerakkannya, yang disebut jiwa.
  2. Aku dan fenomena psikologis, yaitu ketika seseorang mengatakan aku mau tidur, maka yang dimaksudnya bukan kakinya bergerak dan matanya tertutup, tetapi yang dimaksud aku adalah keseluruhan dirinya yang satu dan itu adalah jiwa.
  3.  Argumen kontinuitas, yaitu pengetahuan seseorang selalu sambung-menyambung dari yang dulu , sekarang, dan yang akan datang tanpa terputus. Seseorang dapat mengingat masa lalu, dan berada pada saat ini, kemudian dapat memprediksi masa yang akan datang, yang semua itu menunjukkan adanya aktivitas yang dilakukan oleh unsur selain badan, yang disebut jiwa.
  4. Argumen manusia terbang, yaitu diandaikan ada seseorang yang lahir dengan kesempurnaan akal dan tubuh kemudian ditutup matanya, sehingga tidak dapat melihat kemudian diterbangkan di udara kosong tanpa bersentuhan dengan benda apapun, maka dapat dikatakan bahwa jiwa itu ada karena dia dapat mengkhayalkan adanya kaki dan tangan. Jelas bahwa khayalannya tentang kaki dan tangan bukan berasal dari indera, tetapi unsur yang lain, yaitu jiwa.

Ibnu Sina meyakini bahwa jiwa akan kekal setelah mati karena jiwa manusia berasal dari Tuhan dan akan kembali kepada-Nya. Jiwa tidak akan mati ketika kematian tubuh karena jiwa adalah unsur yang sama sekali berbeda dengan tubuh dan tidak mungkin jiwa tergantung pada tubuh. Hubungan antara tubuh dan jiwa bukanlah hubungan yang kausal dan keharusan, tetapi bagaikan hubungan tuan dan hamba, yaitu tuan tidak terpengaruh dengan perubahan yang menimpa hambanya. 

Karena itu, jiwa tidak terpengaruh oleh perubahan yang terjadi pada badan karena tidak hanya mendapat balasan didunia saja, tetapi nanti pada hidup kedua di akhirat. Jika jiwa manusia telah mencapai kesempurnaan sebelum berpisah dengan badan, maka dia akan mengalami kesenangan untuk selamanya, dan jika dia berpisah dengan badan dengan keadaan yang tidak sempurna, karena waktu bersatu dengan tubuh dipengaruhi hawa nafsu, maka ia akan hidup dalam keadaan menyesal untuk selamanya.

3. Akal

Permasalahan akal merupakan bagian yang menjadi pembahasan tidak saja dalam filsafat islam, tetapi juga dalam teologi dan bahkan hampir di semua aspek dalam bidang keilmuan islam. Dalam fiqih umpamanya, akal merupakan bagian yang amat pokok untuk berijtihad karena setelah Al-Qur’an dan hadits, akal lah yang berperan menentukan suatu hukum.

Hadits nabi juga menegaskan bahwa jika ditemukan penyelesaian suatu persoalan dalam Al-qur’an dan hadits, maka hendaklah berijtihad dengan akal. Karena itu, wajar kemudian akal merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari pembahasan bagian keilmuan dalam islam.

Peranan akal dalam teologi mu’tadzilah amat besar jika dibandingkan dengan Asy-Ariyah. Bagi mu’tadzilah manusia sudah harus melakukan kebaikan dan meninggakan keburukan kendati belum diutus rasul karena Tuhan memberi daya akal kepada manusia untuk membedakan antara yang baik dan yang buruk.

Menurut Al-Kindi, akal terbagi atas empat: pertama akal yang selalu bertindak; kedua, akal yang secara potensial berada dalam ruh; ketiga, akal yang berubah di dalam ruh dari daya menjadi aktual; dan keempat, akal yang kita sebut akal kedua.[1]

Akal menurut Al-Razi merupakan limpahan dari Tuhan. Akal diciptakan oleh Tuhan untuk menyadarkan jiwa yang terlena dalam fisik manusia, bahwa tubuh itu bukanlah tempat yang sebenarnya, serta bukan tempat kebahagiaan dan tempat abadi. Kesenangan dan kebahagian yang sebenarnya adalah melepaskan diri dari materi dengan jalan berfilsafat.[2]

4. Teori kenabian

Kenabian merupakan salah satu pembahasan yang dibicarakan oleh para filosof Islam karena persoalan ini terkait erat dengan pelimpahan dari Akal Aktif (Jibril) kepada para nabi dan filosof. Jika para nabi mendapatkan wahyu dari jibril, maka filosof pun dapat berhubungan dengan jibril yang dalam istilahnya disebut Akal Aktif. Persoalan berikutnya adalah jika nabi dan filosof sama-sama dapat berhubungan dengan Jibril, apa perbedaan nabi dan filosof. Dalam kata lain apakah kedudukan nabi dan filosof sama atau berbeda. Kalau sama di mana letak persamaannya jika berbeda dimana letak perbedaannya.

Dalam beberapa hal nabi dan filosof sama, yakni dapat berhubungan dengan Jibril, baik ketika bangun maupun ketika tidur. Sedangkan filosof hanya dapat berhubungan dengan Jibril hanya ketika tidur saja. Di samping itu, nabi berhubungan dengan perantara hidayah, sedangkan filosof lewat perantara akal mustafad. Persoalan inilah yang kemudian dibicarakan oleh para filosof-filosof muslim.

Menurut Al-Farabi, dasar setiap agama langit adalah wahyu dan inspirasi. Seorang nabi adalah seseorang yang dianugerahi kesempatan untuk dapat langsung berkomunikasi dengan Tuhan dan diberi kemampuan untuk menyatakan kehendak-Nya. Islam, sebagaimana agama-agama langit lainnya, mempunyai Tuhan sebagai penguasa. Al-Qur’an mengatakan: “ Ia tidak lain hanyalah wahyu yang diwahyukan Tuhan Yang Maha Kuasa telah mengajarnya.” (QS. 53: 4-5).

Al-Razi adalah seorang tokoh filsafat yang kontroversial yang mengikuti aliran rasionalis murni. Oleh karena itu, ia berpandangan manusia tidak membutuhkan adanya nabi yang tugasnya mengatur kehidupan manusia agar teratur. Manusia bisa teratur dalam menata kehidupannya dengan adanya akal yang diberikan oleh Tuhan kepada manusia sebagai karunia yang terbesar. Jadi, menurutnya hanya dengan akal-lah manusia dapat hidup teratur tanpa nabi sekalipun.[3]

Adapun menurut Al-Thusi, manusia mempunyai kebebasan dalam bertindak dan kelak akan dibangkitkan kembali tubuhnya. Setelah menetapkan kebebasan berkehendak dan kebangkitan kembali tubuh, Al-Thusi lalu menetapkan perlunya kenabian dan kepemimpinan spiritual. Pertentangan minat serta kebebasan individu mengakibatkan tercerai-berainya kehidupan sosial, dan ini memerlukan aturan suci dari Tuhan untuk mengatur urusan-urusan manusia.[4][7]

Pendapat tersebut membawa konsekuensi beradanya minat serta dimungkinkannya terjadi kekacauan dalam kehidupan sosial. Untuk itu diperlukan aturan suci dari Tuhan untuk mengatur kehidupan manusia. Oleh karena Tuhan berada di luar jangkauan indera, maka Dia mengutus nabi untuk menuntun manusia. Jadi kehadiran nabi sangat diperlukan manusia, termasuk dalam hal kepemimpinan spiritual untuk melanjutkan aturan suci yang ditetapkan para nabi.

5. Eskatologi

Iman pada hari akhirat dalam Islam merupakan rukun iman setelah iman kepada Tuhan. Jika seseorang tidak mengimani kebangkitan di hari akhirat, maka dia berhak di cap kafir. Al-Ghazali, yang terkenal dengan julukan hujjatul Islam. Mencap filosof kafir karena filosof mengimani kebangkitan ruhani dan menolak kebangkitan jasmani. Persoalannya adalah apakah benar filosof itu kafir sebagaimana dituduhkan Al-Ghazali.

Kalau benar apakah kafir mereka sama dengan kafir musyrik. Persoalan inilah yang kemudian mendapat reaksi cukup keras dari Ibn Rusyd, sehingga menulis buku khusus, yang berjudul Tahafut Al-Tahafut untuk menjawab tuduhan Al-Ghazali tersebut.

Persoalannya kemudian adalah bagaimana sebenarnya posisi Al-Ghazali yang menggugat para filosof dan bagaimana juga posisi Ibn Rusyd dalam menjawab tuduhan Al-Ghazali tersebut. Bentuk perdebatan dengan argument masing-masing inilah yang cukup menarik untuk dikaji dan didalami karena kedua tokoh ini cukup memiliki pengaruh besar dalam pola pemikiran umat Islam sampai sekarang.

Karena itu, ini tidak bertujuan untuk menilai mana yang benar dan salah, tetapi untuk menjelaskan secara proporsional dan objektif suatu perdebatan yang berkualitas. Penilaian diserahkan kepada pembaca mana yang dianggapnya benar atau salah.

6. Kebaikan dan kejahatan

Adanya kejahatan di jagad raya merupakan masalah yang tidak henti-hentinya diperdebatkan, terutama oleh agamawan dan ilmuwan. Masalah yang mendasar, terutama bagi teisme, adalah kenapa kejahatan itu ada, padahal Tuhan Pencipta, maha kuasa, dan sumber kebaikan. Salah satu susunan argument ateisme menolak teisme adalah sebagai berikut :


  • Jika Tuhan maha baik, tentu Dia akan membasmi kejahatan
  • Jika Tuhan maha kuasa, tentu Dia mampu menghancurkan kejahatan
  • Tetapi Kejahatan belum terhapus
  •  Karena itu, Tuhan tidak ada.[5][8]


7. Alam antara Qadim dan Baharu

Perbincangan mengenai penciptaan alam dan sifat alam merupakan salah satu hal yang krusial, dalam teologi Islam maupun dalam filsafat Islam. Sebab jika alam qadim sedangkan Tuhan juga qadim, maka tentu ada 2 yang qadim. Dua yang qadim bertentangan dengan ajaran dasar Islam yang menegaskan bahwa hanya Tuhan satu-satunya zat yang qadim, selain Tuhan adalah baharu dan ciptaan-Nya.

Perdebatan inilah yang muncul di kalangan filosof karena mereka di tuduh memprakarsai alam qadim. Apakah benar alam qadim menurut filosof atau tidak bahkan mereka yang menuduh filosof mengatakan alam qadim salah memahami pandangan filosof.

Menurut Al-Kindi, Tuhan menciptakan alam dari tidak ada karenanya alam adalah baharu. Penciptaan alam adalah proses dari yang tertinggi sampai yang terendah. Akal adalah yang tertinggi dan materi adalah yang terendah. Namun, dalam pemikiran Al-Kindi tidak jelas apakah dia menganut teori emanasi tentang penciptaan atau tidak karena tidak ada tulisannya yang terperinci tentang itu.

8. Pengetahuan Tuhan

Salah satu persoalan yang diperdebatkan kalangan teolog dan filosof adalah mengenai pengetahuan Tuhan apakah Tuhan mengetahui hal-hal yang terperinci, seperti apakah Tuhan mengetahui semut hitam berjalan di malam gelap diatas batu hitam.

Persoalannya adalah jika Tuhan mengetahui hal-hal yang terperinci, maka Tuhan amat sangat sibuk dan apa gunanya Tuhan mengetahui semua itu. Jika Tuhan tidak mengetahui tentu di samping terkesan Dia tidak mengetahui, juga tidak sesuai dengan ayat Al-Qur’an yang menjelaskan Tuhan Maha Mengetahui.

Persoalan inilah yang diperdebatkan secara panjang lebar antara teolog dan filosof. Abu Barakat Al-Bagdadi berkomentar tentang persoalan tersebut, “Para pemikir kontemporer dan tradisional berbeda pendapat tentang pengetahuan Tuhan mengenai hal-hal yang terperinci.

Sebagian mereka berpendapat bahwa Tuhan tidak mengetahui selain zat dan sifat-Nya. Adapun sebagian yang lain mengatakan bahwa Tuhan mengetahui zat dan juga semua makhluk-Nya dalam berbagai keadaan, baik yang sekarang maupun yang akan datang. Sisanya berpendapat bahwa Tuhan mengetahui zat sifat-sifat global, dan wujud yang abadi lewat zat-Nya. Bagi pendapat yang terakhir ini Tuhan tidak mengetahui hal-hal yang terperinci dan berbagai perubahan di jagad raya.[6][9]

9. Hukum kausalitas

Teori kausalitas adalah salah satu sumbangan terbesar filsafat pada ilmu. Ilmu menjadikan teori kausalitas sebagai dasar pijakannya. Ilmu kesehatan umpamanya, harus taat azaz pada hukum sebab akibat.

Kalau obat tertentu tidak memberi kepastian penyembuhan bagi penyakit tertentu, maka akan kacau sistem pengobatan. Karena itu, obat harus mencapai tingkat kepastian sebagai penyembuh suatu penyakit. Peristiwa-peristiwa di alam juga tidak terlepas dari hukum sebab akibat, seperti api membakar dan air membasahi.

Teori kausalitas sudah dikembangkan sejak zaman Yunani. Aristoteles mempertegas keberadaan teori kausalitas dengan menguraikan bahwa ada empat macam sebab, yaitu sebab materi, bentuk, efisien, dan tujuan. Keempat jenis sebab tersebut saling terkait dan bersatu.

Sebab materi dan bentuk ada dalam benda itu sendiri, sedangkan sebab efisien dan tujuan berada di luar benda. Keempat sebab berlaku, baik bagi kejadian alam maupun bagi kejadian yang disebabkan oleh manusia. Aristoteles bermaksud bahwa dengan penjelasan ini ia memberikan daftar komplit yang memuat semua faktor yang dapat menyebabkan suatu kejadian. Dalam suatu kejadian keempat jenis sebab itu dapat dibedakan, paling tidak secara logis.[7][10]


10. Ruang dan waktu

Dalam sistem Aristoteles, alam terbatas oleh ruang, tetapi tidak terbatas oleh waktu. Hal itu dikarenakan gerak alam seabadi Penggerak Tak Tergerakkan (Unmovable Mover). Keabadian alam ini ditolak dalam pemikiran Islam, karena alam adalah diciptakan.

Untuk itu para filosof muslim mencari jalan keluarnya yang sesuai dengan agama dan permasalahan tersebut. Tokoh filosof Muslim yang dianggap ateis karena sependapat dengan Aristoteles bahwa alam ini kekal adalah Ibn Sina dan Ibn Rusyd.

Al-Kindi memecahkan masalah tersebut secara radikal dengan gagasan tentang ketakterhinggaan secara matematik. Ia mengatakan bahwa alam ini tidak kekal. Benda-benda fisik terdiri atas materi dan bentuk, dan bergerak di dalam ruang dan waktu.

Waktu dan ruang adalah hal yang terbatas, karena keduanya tidak akan ada kecuali dengan keterbatasan. Waktu bukanlah gerak, tetapi bilangan pengukur gerak, karena waktu tak lain adalah yang dahulu dan yang akan datang. Bilangan terdiri atas dua macam, yaitu tersendiri dan berkesinambungan. Oleh karena itu, waktu adalah berkesinambungan yang dapat ditentukan, yang berproses dari dulu hingga kelak.

Sumber:

[1] Ahmad Fouad El-Ehwany, Islamic Philosophy, (Kairo, 1951), h.51-52.
[2] Al-Razi, Rasa’il Falsafiyyah, (Beirut: Dar al-Afaq al-Jadidah, 1982), h.84
[3] Abdul Rahman Badawi, Muhammad ibn Zakaria al-Razi, dalam M.M Syarif, Para Filosof Muslim, terj. Fuad Moh. Fakhruddin, (Bandung: Mizan, 1996), h.47.
[4] M.M Sharif, h.567-578
[5] Noman L. Geisler and William Watkins, Perspective Unknowing and Evaluating Today’s World View, California: Herres’s Life Publisher, Inc. 1984, h. 64
[6] Ahmad Syamsudin, Al-Ghazali, (Bairut: Dar Al-Kutub Al-ilmiyyah, 1990), h. 85.
[7] K. Bertens, Sejarah Filsafat Yunani, (Yogyakarta: Kanisius, 1981), h. 141.

photo source: boombastis.com