Tokoh Filsuf Islam, Siapa saja?
1. Al-Kindi
Al-Kindi menpunyai nama lengkap Abu Yusuf Ya’qub Ibn Ishaq al- Kindi. Ia berasal dari keluarga bangsawan Arab dari Kindah di Arabia Selatan, dialah satu satunya filsuf islam yang berasal dari keturunan Arab, dan karenanya ia disebut Failasauf al-A’rab (Filsuf Orang Arab). Ia bukan hanya seorang filsuf, tetapi ia juga seorang ilmuwan yang menguasai ilmu-ilmu pengetahuan lain yang ada pada zamannya. Hal ini di buktikan dengan buku buku yang ditinggalkannya seperti matematika, geometri, astronomi, farmakologi, ilmu jiwa, dan lain sebagainya.
Falsafat baginya adalah pengetahuan tentang yang benar. Tuhan dalam falsafatnya tidak mempunyai hakikat dalam arti aniyah maupun hamiyah. Tidak aniyah karena Tuhan tidak masuk dalam benda-benda yang ada dalam alam. Tidak hamiyah karena Tuhan tidak merupakan genus atau species. Sesuai paham dalam Islam, Tuhan bagi Al-Kindi adalah pencipta dan bukan penggerak pertama sebagaimana pendapat Aristoteles.[1]
Hal-hal yang berkaitan dengan pemikiran filsafatnya adalah sebagai berikut:
a) Filsafat tentang Alam
Alam bagi al-kindi bukan kekal di zaman lampau (qadim), tetapi meempunyai permulaan. Karena itu, ia lebih dekat dengan hal ini pada filsafat platinus yang mengatakan yang maha satu adalah sumber dari alamini dan sumber dari segala yang ada. Alam ini adalah alam emanasi dari yang maha satu tetapi paham emanasi ini kelihatannya tidak jelas dalam filsafat al-Kindi
b) Hubungan Filsafat dan Agama
b) Hubungan Filsafat dan Agama
Menurut al-Kindi, bahwaa anrtara filsafat dan agama tidak ada pertentangan, ilmu tauhid Atau teologi adalah cabang termulia dari filsafat. Filsafat membahas tentang kebenaran atau hakikat sesuatu.kalau ada hakikat-hakikat meski ada hakikat yang pertama (Al-haqq al-Awwal). Hakikat yang pertama itu adalah tuhan. Dengan demikian, pemikiran filsafat sejalan dengan agama yang juga membicarakan tentang tuhan
c) Falsafah tentang Jiwa
c) Falsafah tentang Jiwa
Menurut al-Kindi, bahwa jiwa manusia mempunyai tiga daya yaitu daya bernafsu yang berpusat di perut, daya berani yang berpusat di dada, dan daya berpikir yang berpusat di kepala.Daya berpikir inilah yang selanjutnya disebut akal. Dalam pemikirannya ini, aal-kindi banyak dipengaruhu oleh Aristoteles, Platon dan Plotinus.[2]
2. Al-Razi
2. Al-Razi
Seorang rasionalis yang hanya percaya pada kekuatan akal dan tidak memerlukan adanya wahyu dan nabi-nabi. Ia berkeyakinan bahwa akal manusia kuat untuk mengetahui yang baik dan yang buruk, untuk tahu pada Tuhan dan mengatur hidup manusia di dunia ini.[3]
3. Al-Farabi
3. Al-Farabi
Al-Farabi bernama lengkap Abu Nasr Muhammad Ibn Muhammad Ibn Tarkhan Ibn Uzlagh al- Farabi. Di masa kecilnya al-farabi belajar tentang agama, Bahasa Arab, Turki, dan Persia. Sewaktu muda ia tinggal di Baghdad yang merupakan pusat ilmu pengetahuan dan filsafat. Di sana ia belajar filsafat, logika, matematika, metafisika, etika, ilmu politik, music, dan lain sebagainya. Al-Farabi pun menulis sejumlah buku antara lain berkaitan dengan logika , ilmu politik, etika, fisika, ilmu jiwa, metafisika dan lain sebagainya. Selain al-Kindi al-Farabi pun mempunyai gelar yaitu al-Muallim al-Tsani (Guru Kedua). Adapun guru pertamanya adalah Aristoteles. Di dunia Latin ia di kenal dengan nama Alpharabius.[4]
Berkeyakinan bahwa falsafat tak boleh dibocorkan dan sampai ke tangan orang awam. Oleh karena itu, para filosof harus menuliskan pendapat-pendapat dalam gaya bahasa yang gelap agar jangan diketahui oleh sembarang orang. Ia mengatakan bahwa agama dan falsafat tidak bertentangan, keduanya sama-sama membawa kepada kebenaran.[5]
Berkeyakinan bahwa falsafat tak boleh dibocorkan dan sampai ke tangan orang awam. Oleh karena itu, para filosof harus menuliskan pendapat-pendapat dalam gaya bahasa yang gelap agar jangan diketahui oleh sembarang orang. Ia mengatakan bahwa agama dan falsafat tidak bertentangan, keduanya sama-sama membawa kepada kebenaran.[5]
Hal-hal yang berkaitan dengan pemikiran filsafatnya adalah sebagai berikut:
a) Jiwa
jiwa adalah jauhar rohani sebagai form dari jasad. Kesatuan keduanya merupakan kesatuan secara accident, artinya masing-masing keduanya mempunyai substansi yang berbeda dan binasanya jasad tidak membawa binasa bagi jiwa.Jiwa manusia berasal dari ilahi, sedangkan jasad berasal dari alam khalq, berbentuk, berupa, berkadar, dan bergerak. Jiwa diciptakan tatkala jasad siap menerimanya.[6]
b) Rekonsiliasi Al-Farabi
Al-Farabi telah berhasil merekonsiliasi beberapa ajaran filsafat sebelumnya, seprti Plato dan Aristoteles dan juga antara agama dan filsafat. Oleh karena itu, ia dikenal sebagai filosof sinkretisme yang mempercayai kesatuan filsafat. Al-Farabi =berkeyakinan bahwa aliran filsafat yang bermacam-macam itu hakikatnya hanya satu, karena tujuan filsafat ialah memikirkan kebenaran, sedangkan kebenaran itu hanya satu macam dan serupa pada hakikatnya. Jutru itu semua aliran filsafat pada prinsipnya tidak ada perbedaan kalau pun beda hanya pada lahirnya.[7]
4. Ibn Thufail
Menurutnya, filsafat dan agama adalah selaras, bahkan merupakan gambaran dari hakikat yang satu. Yang dimaksudkan agama di sini adalah batin dan syari’at. Dia juga menyadari adanya perbedaan tingkat akal antara sesama manusia.
5. Ibn Rusyd
Sebagai filsuf besar, juga memikirkan, membahas dan memecahkan masalah-masalah yang pernah dipikirkan oleh filsuf-filsuf sebelumnya. Ia tidak menerima begitu saja pikiran-pikiran mereka, tetapi mereka menerima yang setuju dan menolak yang sebaliknya.
6. Nashiruddin Thusi
Filsafat pertama meliputi alam semesta dan hal-hal yang berhubungan dengan alam semesta. Termasuk dalam hal ini pengetahuan tentang ketunggalan dan kemajemukan, kepastian dan kemungkinan, esensi dan eksistensi, kekekalan dan ketidakkekalan. Bagi dia Tuhan tidak perlu dibuktikan secara logis. Eksistensi Tuhan harus diterima dan dianggap sebagai postulat, bukannya dibuktikan. Mustahil bagi manusia yang terbatas untuk memahami Tuhan di dalam keseluruhan-Nya, termasuk membuktikan eksistensi-Nya.[8]
7. Suhrawardi Al-Maqtul
Menggunakan istilah atau lambang yang berbeda dari biasanya dipahami orang banyak. Seperti barzah, tidak berkaitan dengan persoalan kematian. Namun istilah tersebut adalah ungkapan pemisah antara dunia cahaya dengan dunia kegelapan. Timur dan Barat tidak berhubungan dengan letak geografisnya, tetapi berlandaskan pada penglihatan horizontal yang memanjang dari Timur ke Barat. Jadi, makna Timur diartikan sebagai Dunia Cahaya atau Dunia Malaikat yang bebas dari kegelapan dan materi, sedangkan Barat adalah Dunia Kegelapan dan Materi. Barat Tengah adalah langit-langit yang menampakkan pembauran antara cahaya dengan sedikit kegelapan. Timur yang sebaliknya adalah apa yang berada dibalik langit yang kelihatan, dan apa yang di atasnya, maka batas antara Timur dan Barat bukanlah falak bulan seperti dalam filsafat Aristotelian, tetapi ia adalah langit bintang-bintang tetap, atau penggerak yang tidak bergerak.[9]
8. Mulla Shadra
a) Jiwa
jiwa adalah jauhar rohani sebagai form dari jasad. Kesatuan keduanya merupakan kesatuan secara accident, artinya masing-masing keduanya mempunyai substansi yang berbeda dan binasanya jasad tidak membawa binasa bagi jiwa.Jiwa manusia berasal dari ilahi, sedangkan jasad berasal dari alam khalq, berbentuk, berupa, berkadar, dan bergerak. Jiwa diciptakan tatkala jasad siap menerimanya.[6]
b) Rekonsiliasi Al-Farabi
Al-Farabi telah berhasil merekonsiliasi beberapa ajaran filsafat sebelumnya, seprti Plato dan Aristoteles dan juga antara agama dan filsafat. Oleh karena itu, ia dikenal sebagai filosof sinkretisme yang mempercayai kesatuan filsafat. Al-Farabi =berkeyakinan bahwa aliran filsafat yang bermacam-macam itu hakikatnya hanya satu, karena tujuan filsafat ialah memikirkan kebenaran, sedangkan kebenaran itu hanya satu macam dan serupa pada hakikatnya. Jutru itu semua aliran filsafat pada prinsipnya tidak ada perbedaan kalau pun beda hanya pada lahirnya.[7]
4. Ibn Thufail
Menurutnya, filsafat dan agama adalah selaras, bahkan merupakan gambaran dari hakikat yang satu. Yang dimaksudkan agama di sini adalah batin dan syari’at. Dia juga menyadari adanya perbedaan tingkat akal antara sesama manusia.
5. Ibn Rusyd
Sebagai filsuf besar, juga memikirkan, membahas dan memecahkan masalah-masalah yang pernah dipikirkan oleh filsuf-filsuf sebelumnya. Ia tidak menerima begitu saja pikiran-pikiran mereka, tetapi mereka menerima yang setuju dan menolak yang sebaliknya.
6. Nashiruddin Thusi
Filsafat pertama meliputi alam semesta dan hal-hal yang berhubungan dengan alam semesta. Termasuk dalam hal ini pengetahuan tentang ketunggalan dan kemajemukan, kepastian dan kemungkinan, esensi dan eksistensi, kekekalan dan ketidakkekalan. Bagi dia Tuhan tidak perlu dibuktikan secara logis. Eksistensi Tuhan harus diterima dan dianggap sebagai postulat, bukannya dibuktikan. Mustahil bagi manusia yang terbatas untuk memahami Tuhan di dalam keseluruhan-Nya, termasuk membuktikan eksistensi-Nya.[8]
7. Suhrawardi Al-Maqtul
Menggunakan istilah atau lambang yang berbeda dari biasanya dipahami orang banyak. Seperti barzah, tidak berkaitan dengan persoalan kematian. Namun istilah tersebut adalah ungkapan pemisah antara dunia cahaya dengan dunia kegelapan. Timur dan Barat tidak berhubungan dengan letak geografisnya, tetapi berlandaskan pada penglihatan horizontal yang memanjang dari Timur ke Barat. Jadi, makna Timur diartikan sebagai Dunia Cahaya atau Dunia Malaikat yang bebas dari kegelapan dan materi, sedangkan Barat adalah Dunia Kegelapan dan Materi. Barat Tengah adalah langit-langit yang menampakkan pembauran antara cahaya dengan sedikit kegelapan. Timur yang sebaliknya adalah apa yang berada dibalik langit yang kelihatan, dan apa yang di atasnya, maka batas antara Timur dan Barat bukanlah falak bulan seperti dalam filsafat Aristotelian, tetapi ia adalah langit bintang-bintang tetap, atau penggerak yang tidak bergerak.[9]
8. Mulla Shadra
Menurutnya, filsafat dibedakan menjadi dua pembagian utama yaitu :
1) Bersifat teoritis, yang mengacu kepada pengetahuan tentang segala sesuatu sebagaimana adanya. Perwujudannya tercermin dalam dunia akal, termasuk jiwa didalamnya sebagaimana yang dikemukakan oleh Al-Farabi.
2) Bersifat praktis, yang mengacu pada pencapaian kesempurnaan-kesempurnaan yang cocok bagi jiwa. Perwujudannya adalah mendekatkan diri kepada Tuhan. Ia juga meyakini adanya titik temu antara filsafat dan agama sebagai kesatuan kebenaran yang dapat dibuktikan melalui mata rantai historis yang berkesinambungan dari Adam sampai Ibrahim, orang-orang Yunani, para sufi Islam dan para filsuf.[10]
9. Ibnu Bajjah
Ibnu Bajjah adalah seorang filosof muslim yang pertama dan utama dalam sejarah kefilsafatan di Andalus. Nama lengkapnya adalah Abu Bakar Ibnu Yahya Ibnu Al-Sha’igh, yang lebih terkenal dengan nama ibnu bajjah. Menurut beberapa literatur, Ibnu Bajjah bukan hanya seorang filosof, tetapi ia juga seorang saintis yang menguasai beberapa disiplin ilmu pengetahuan, seperti kedokteran, astronomi, fisika, musikus, dan matematika.
Beliau juga membuat beberapa karya tulis yang terpenting dalam bidang filsafat yaitu:
a. Kitab tadbir al- mutawwahid, ini adalah kitab yang paling popular dan panting dari seluruh karya tulisnya. Kitab ini berisikan akhlak dan politik serta usaha-usaha individu menjauhan diri dari segala macam keburukan-keburukan dalam masyarakat negara yang disebutnya sebagai insan muwahhid (manusia penyiendiri).
b. Risalat al-Wada’, risalah ini membahas penggerak pertama (Tuhan), manusia, alam, dan kedokteran.
c. Risalat al-ittishal, risalah ini menguraikan tentang hubungan manusia dengan akal Fa’al.
d. Kitab al-Nafs, kitab ini menjelaskan tentang jiwa.[11]
Berikut adalah pemikiran filsafat dari Ibnu Bajjah
a) Akal
1) Bersifat teoritis, yang mengacu kepada pengetahuan tentang segala sesuatu sebagaimana adanya. Perwujudannya tercermin dalam dunia akal, termasuk jiwa didalamnya sebagaimana yang dikemukakan oleh Al-Farabi.
2) Bersifat praktis, yang mengacu pada pencapaian kesempurnaan-kesempurnaan yang cocok bagi jiwa. Perwujudannya adalah mendekatkan diri kepada Tuhan. Ia juga meyakini adanya titik temu antara filsafat dan agama sebagai kesatuan kebenaran yang dapat dibuktikan melalui mata rantai historis yang berkesinambungan dari Adam sampai Ibrahim, orang-orang Yunani, para sufi Islam dan para filsuf.[10]
9. Ibnu Bajjah
Ibnu Bajjah adalah seorang filosof muslim yang pertama dan utama dalam sejarah kefilsafatan di Andalus. Nama lengkapnya adalah Abu Bakar Ibnu Yahya Ibnu Al-Sha’igh, yang lebih terkenal dengan nama ibnu bajjah. Menurut beberapa literatur, Ibnu Bajjah bukan hanya seorang filosof, tetapi ia juga seorang saintis yang menguasai beberapa disiplin ilmu pengetahuan, seperti kedokteran, astronomi, fisika, musikus, dan matematika.
Beliau juga membuat beberapa karya tulis yang terpenting dalam bidang filsafat yaitu:
a. Kitab tadbir al- mutawwahid, ini adalah kitab yang paling popular dan panting dari seluruh karya tulisnya. Kitab ini berisikan akhlak dan politik serta usaha-usaha individu menjauhan diri dari segala macam keburukan-keburukan dalam masyarakat negara yang disebutnya sebagai insan muwahhid (manusia penyiendiri).
b. Risalat al-Wada’, risalah ini membahas penggerak pertama (Tuhan), manusia, alam, dan kedokteran.
c. Risalat al-ittishal, risalah ini menguraikan tentang hubungan manusia dengan akal Fa’al.
d. Kitab al-Nafs, kitab ini menjelaskan tentang jiwa.[11]
Berikut adalah pemikiran filsafat dari Ibnu Bajjah
a) Akal
Ibnu Bajjah menempatkan akal dalam posisiyang sangat penting, dengan perantataraan akal, manusia dapat mengetahui segala sesuatu, termasuk dalam mencapai kebahagiaan dan masalah Ilahiyat, Akal, menurut Ibnu Bajjah terdiri dari dua jenis.
a. Akal teoritis
Akal ini diperoleh hanya berdasarkan pemahaman terhadap sesuatu yang konkret atau abstrak
b. Akal praktis
Akal ini diperoleh melalui penyelidikan (eksperimen) sehingga menemukan ilmu pengetauhan
b) Jiwa
Menurut pendapat Ibnu Bajjah, setiap manusia mempunyai satu jiwa. Jiwa ini tidak mengalami perubahan sebagaimana jasmani. Jiwa adalah penggerak bagi manusia, jiwa digerakkan dengan dua jenis alat: alat-alat jasmaniah dan alat-alat rohaniah. Alat-alat jasmaniah diantaranya ada berupa buatan dan ada pula yang berupa alamiah, seperti kaki dan tangan. Alat-alat alamiah ini lebih dahulu dari alat buatan, yang disebut juga oleh Ibnu Bajjah dengan pendorong naluri atau roh insting. Ia terdapat pada setiap makhluk yang berdarah.[12]
c) Akhlak
Ibnu Bajjah membagi perbuatan manusia menjadi perbuatan hewani dan manusiawi.Perbuatan hewani didasarkan atas dorongan naluri untuk memenuhi kebutuha-kebutuhan dan keinginan hawa nafsu, sementara itu perbuatan manusiawi adalah perbuatan yang didasarkan atas pertimbangan rasio dan kemauan yang bersih lagi luhur.[13]
10. Ibnu Sina
Pada tahun 1919–20, Edward G. Browne, British Orientalist dan pemerintah Persia menyatakan bahwa Avicenna atau Ibnu Sina adalah seorang filsuf yang lebih handal ketimbang tabib, tapi juga seorang tabib yang lebih handal daripada filsuf. Hal ini dinyatakan karena pemikiran Ibnu Sina yang luar biasa hebat tentang filosofi. Bahkan, pemikirannya tentang filosofi dan ilmu pengetahuan masih sangat komprehensif untuk dipelajari di era modern seperti sekarang ini.
Ibnu Sina bahkan disebut sebagai satu –satunya filsuf besar Islam yang sukses membangun sistem filsafat dengan sangat lengkap dan terperinci. Sistem filsafat ini pula yang kemudian mendominasi pemikiran filsuf-filsuf beberapa abad kemudian.
Hasil pemikirannya yang lebih baik itulah yang sebetulnya sangat dibutuhkan untuk menjadikan filosofi dan ilmu pengetahuan memiliki pandangan yang lebih komprehensif dan benar -benar nyata. Pandangannya terhadap dunia lebih mengarah pada teosentris atau berpusat pada Tuhan, ketimbang antroposentris atau berpusat pada manusia.Perspektif inilah yang kemudian sangat populer dalam dunia Roman. Semesta merupakan suatu kesatuan yang terbentuk secara natural, supernatural, dan preternatural.
a. Akal teoritis
Akal ini diperoleh hanya berdasarkan pemahaman terhadap sesuatu yang konkret atau abstrak
b. Akal praktis
Akal ini diperoleh melalui penyelidikan (eksperimen) sehingga menemukan ilmu pengetauhan
b) Jiwa
Menurut pendapat Ibnu Bajjah, setiap manusia mempunyai satu jiwa. Jiwa ini tidak mengalami perubahan sebagaimana jasmani. Jiwa adalah penggerak bagi manusia, jiwa digerakkan dengan dua jenis alat: alat-alat jasmaniah dan alat-alat rohaniah. Alat-alat jasmaniah diantaranya ada berupa buatan dan ada pula yang berupa alamiah, seperti kaki dan tangan. Alat-alat alamiah ini lebih dahulu dari alat buatan, yang disebut juga oleh Ibnu Bajjah dengan pendorong naluri atau roh insting. Ia terdapat pada setiap makhluk yang berdarah.[12]
c) Akhlak
Ibnu Bajjah membagi perbuatan manusia menjadi perbuatan hewani dan manusiawi.Perbuatan hewani didasarkan atas dorongan naluri untuk memenuhi kebutuha-kebutuhan dan keinginan hawa nafsu, sementara itu perbuatan manusiawi adalah perbuatan yang didasarkan atas pertimbangan rasio dan kemauan yang bersih lagi luhur.[13]
10. Ibnu Sina
Pada tahun 1919–20, Edward G. Browne, British Orientalist dan pemerintah Persia menyatakan bahwa Avicenna atau Ibnu Sina adalah seorang filsuf yang lebih handal ketimbang tabib, tapi juga seorang tabib yang lebih handal daripada filsuf. Hal ini dinyatakan karena pemikiran Ibnu Sina yang luar biasa hebat tentang filosofi. Bahkan, pemikirannya tentang filosofi dan ilmu pengetahuan masih sangat komprehensif untuk dipelajari di era modern seperti sekarang ini.
Ibnu Sina bahkan disebut sebagai satu –satunya filsuf besar Islam yang sukses membangun sistem filsafat dengan sangat lengkap dan terperinci. Sistem filsafat ini pula yang kemudian mendominasi pemikiran filsuf-filsuf beberapa abad kemudian.
Hasil pemikirannya yang lebih baik itulah yang sebetulnya sangat dibutuhkan untuk menjadikan filosofi dan ilmu pengetahuan memiliki pandangan yang lebih komprehensif dan benar -benar nyata. Pandangannya terhadap dunia lebih mengarah pada teosentris atau berpusat pada Tuhan, ketimbang antroposentris atau berpusat pada manusia.Perspektif inilah yang kemudian sangat populer dalam dunia Roman. Semesta merupakan suatu kesatuan yang terbentuk secara natural, supernatural, dan preternatural.
Ilmu semesta yang diajarkan oleh Ibnu Sina adalah berpusat pada Tuhan sebagai Sang Pencipta -Pembuat Pertama. Pemikirannya ini pun dilengkapi dengan berbagai argumen yang mencerahkan pemikiran manusia. Ia menjelaskan dengan cara yang cerdas mengenai perspektif yang ia dapatkan dari Kitab Suci Qurʾān. Yang terpenting, penjelasannya memuat argumen -argumen yang jelas, lugas, kuat dan dapat diterima oleh banyak orang.
Kitāb al-shifāʾ yang ditulisnya merupakan suatu buku ensiklopedia yang mencakup ilmu logika berpikir, fisika, matematika dan metafisika. Awalnya, ilmu pengetahuan disamakan sebagai suatu kebijaksanaan. Kemudian, Ibnu Sinalah yang mengklasifikasikan ilmu pengetahuan menjadi beberapa kelompok yang lebih fokus dan jelas.
Sebagai contoh, pada bab fisika, ia membicarakan mengenai alam dengan delapan prinsip dasar, meliputi ilmu pengetahuan umum tentang benda angkasa, bumi, dan elemen pokok seperti meteorology, botani, mineralogi, zoology, dan psikologi atau ilmu pengetahuan tentang jiwa.
Kitāb al-shifāʾ yang ditulisnya merupakan suatu buku ensiklopedia yang mencakup ilmu logika berpikir, fisika, matematika dan metafisika. Awalnya, ilmu pengetahuan disamakan sebagai suatu kebijaksanaan. Kemudian, Ibnu Sinalah yang mengklasifikasikan ilmu pengetahuan menjadi beberapa kelompok yang lebih fokus dan jelas.
Sebagai contoh, pada bab fisika, ia membicarakan mengenai alam dengan delapan prinsip dasar, meliputi ilmu pengetahuan umum tentang benda angkasa, bumi, dan elemen pokok seperti meteorology, botani, mineralogi, zoology, dan psikologi atau ilmu pengetahuan tentang jiwa.
Adapun golongan ilmu pengetahuan penting yang dirancang oleh Ibnu Sina adalah tentang ilmu kedokteran, astrologi, ilmu firasat, necromancy, tafsir mimpi, jimat, alkimia, dan lain sebagainya. Untuk ilmu matematika sendiri, Ibnu Sina menggolongkannya ke dalam empat prinsip utama, meliputi angka dan aritmatika, geometri dan geografi, astronomi, serta musik.
source :
[1] Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1999), h. 17.
[2] Natta Abuddin, 2011. Studi Islam Komprehensif, Jakarta:KENCANA (hlm. 293-294)
[3] Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1999), h. 26.
[4] Natta Abuddin, 2011. Studi Islam Komprehensif, Jakarta:KENCANA (hlm.295)
[5] Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1999), hlm. 35.
[6] Zar Sirajuddin.Filsafat Islam. Jakarta: RAJAWALI PERS (hlm.87)
[7] Zar Sirajuddin.Filsafat Islam. Jakarta: RAJAWALI PERS (hlm.68)
[8] Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1999), h. 35.
[9] Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1999), h. 146.
[10] Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1999), h. 174.
[11] Zar Sirajuddin.Filsafat Islam. Jakarta: RAJAWALI PERS (hlm.186-187)
[12] Zar Sirajuddin.Filsafat Islam. Jakarta: RAJAWALI PERS (hlm.194-195)
[13] Zar Sirajuddin.Filsafat Islam. Jakarta: RAJAWALI PERS (hlm.197)
-photo source: tirto.id
source :
[1] Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1999), h. 17.
[2] Natta Abuddin, 2011. Studi Islam Komprehensif, Jakarta:KENCANA (hlm. 293-294)
[3] Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1999), h. 26.
[4] Natta Abuddin, 2011. Studi Islam Komprehensif, Jakarta:KENCANA (hlm.295)
[5] Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1999), hlm. 35.
[6] Zar Sirajuddin.Filsafat Islam. Jakarta: RAJAWALI PERS (hlm.87)
[7] Zar Sirajuddin.Filsafat Islam. Jakarta: RAJAWALI PERS (hlm.68)
[8] Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1999), h. 35.
[9] Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1999), h. 146.
[10] Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1999), h. 174.
[11] Zar Sirajuddin.Filsafat Islam. Jakarta: RAJAWALI PERS (hlm.186-187)
[12] Zar Sirajuddin.Filsafat Islam. Jakarta: RAJAWALI PERS (hlm.194-195)
[13] Zar Sirajuddin.Filsafat Islam. Jakarta: RAJAWALI PERS (hlm.197)
-photo source: tirto.id